BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Isu-isu
tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam
dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade
1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali
sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat pula (Hansen, L. S.,
1997: 41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru
untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa
maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang
dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan
kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat
diperlukan dalam kehidupan manusia abad-21.
Sesuai
dengan dimensi kesosialannya, menurut pandangan Pedersen (Prayitno, 2008: 172)
menerangkan bahwa individu-individu akan saling berkomunikasi dan menyesuaikan
diri, apabila berasal dari latar belakang budaya yang sama cenderung lebih
mudah daripada antar mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Karena
inti proses pelayanan bimbingan dan konseling adalah komunikasi antara klien
dan konselor, maka proses pelayanan yang bersifat antar budaya (klien dan
konselor) berasal dari latar belakang budaya yang berbeda sangat peka terhadap
pengaruh sumber-sumber hambatan komunikasi tersebut. Perbedaan dalam latar
belakang rasa tau etnik, kelas sosial ekonomi dan pola bahasa menimbulkan
masalah dalam hubungan konseling, dari awal pengembangan hubungan yang akrab
dan saling mempercayai antara klien dan konselor, penstrukturan suasana
konseling, sampai peniadaan sikap menolak dari klien.
Dalam praktek konseling tidak
semua pendekatan dapat dipraktekkan secara efektif, terutama dalam setting
budaya yang tidak sama dengan budaya barat (Jumarin, 2002: 23). Konselor
seringkali mengungkung diri dalam budayanya, tidak mau mempertimbangkan budaya
klien. Kondisi tersebut sering melahirkan hambatan dalam konseling, seperti
keengganan, penolakan klien, ketidakpuasan konselor dalam menjalankan konseling
dan sebagainya. Disisi lain hampir di setiap budaya memiliki sistem atau cara
dalam membantu orang lain memecahkan masalah. Suatu masalah yang berkaitan
dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan
atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau
benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara
beragam dan berbeda-beda, sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang
memberi artinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang akan dikaji lebih
lanjut dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
konsep konseling budaya dan multikultural?
2. Adakah
kendala dalam konseling multikultural?
3. Apakah
isu yang berkembang dalam konseling multikultural?
4. Bagaimanakah
pertimbangan konseling dalam kelompok kultural tertentu?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.
Menjelaskan agar dapat memahami mengenai
konsep konseling budaya dan multikultural, meliputi pengertian dan sejarahnya.
2.
Untuk mengetahui tentang kendala yang
ada dalam konseling multikultural.
3.
Untuk mengetahui isu yang berkembang
dalam konseling multikultural.
4.
Memberikan pemahaman mengenai dasar
pertimbangan konseling dalam kelompok kultural tertentu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Konseling Masyarakat Multikultural
1. Definisi konseling budaya dan multikultural
Menurut
pandangan Pedersen (Samuel T Glading: 2012), budaya dapat didefinisikan dengan
beberapa cara. Definisi meliputi variabel etnografik seperti etnis,
kewarganegaraan, agama, dan bahasa. Sedangkan variabel demografik meliputi
umur, gender, tempat tinggal, dan sebagainya. Jika dilihat dari variabel status
meliputi latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan keanggotaan formal
atau informal dalam cakupan luas. Budaya akan membentuk perilaku manusia baik
sadar maupun tak sadar mengenai pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan
proses kognitif. Apa yang diklaim sekelompok orang sebagai bagian dari budaya
dan warisan mereka, tidaklah selalu tampak dengan jelas pada pandangan pertama.
Ramdani Wahyu (2007: 97)
mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem idea
tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
seharai-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Perwujudan dari budaya adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan-lain-lain, yang
kesemuanya ditujuakan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Istilah multikultural juga telah
terkonseptual dalam beberapa cara. Locke menekankan fokus yang paling mencolok
dalam multikultural adalah keunikan dan konsep kelompok yang terpisah yang
memfasilitasi perhatian pada perbedaan individual (Samuel T Glading, 2012: 99).
Konseling lintas budaya disebut sebagai proses konseling yang melibatkan antara
konselor dan klien yang berbeda budayanya, dan dilakukan dengan memperhatikan
budaya subyek yang terlibat dalam konseling (Jumarin, 2002: 29).
Dalam pandangan Dedi Supriadi (Mamat
Supriatna, 2009) menjelaskan bahwa konseling lintas budaya melibatkan konselor
dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena
itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak
konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan
efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan
diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya,
dan memiliki keterampilan keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan
demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
encounter) antara konselor dan klien.
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa konseling lintas budaya atau multikultural adalah proses
konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budayanya, maka
konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya, memfasilitasi perhatian pada perbedaan
individual. Agar konselor dapat benar-benar memahami klien, maka harus
menyadari bahwa klien adalah individu yang sangat kompleks dan beragam. Oleh
karena itu, mengkombinasikan faktor budaya dan keragaman sebagai bagian untuk
mengerti adalah hal yang sangat esensial.
2. Sejarah
Konseling Multikultural
Fokus konseling multikultural
telah bergeser dalam sejarahnya yang singkat, dari penekanan pada klien
(1950-an), penekanan pada konselor (1960-an), sampai pada proses konseling itu
sendiri secara total (1970-an sampai sekarang). Pada akhir 1980-an, konseling multikultural
dideskripsikan sebagai topik yang hangat, dan bertahan tahun 1990-an menuju
abad ke-21 dengan peningkatan signifikansi dari jurnal-jurnal konseling. Pada
kenyataannya isu-isu multikultural dalam konseling hanya terbatas dari jumlah
artikel yang diterbitkan dibawah isu-isu karier/akademik yang menjadi subjek
utama. Itulah sebabnya Pedersen, dkk menyebut bahwa konseling multikultural
merupakan “fourth force” atau kekuataan
keempat dalam gerakan konseling (Jumarin, 2002: 24), yaitu setelah gerakan psikodinamik
(Freud, Yung, Adler, From, dkk), behaviorisme-cognitivisme (Skinner, Perls,
dkk), humanistik-eksistensial (Rogers, Frankl, dkk).
Pemahaman konseling multikultural
ditegaskan oleh Jumarin (2002: 25) bahwa konsep, teknik, dan praktek konseling multikultural
terus dikembangkan dan belum menemukan formulasi yang mapan, sebagaimana
pendekatan konseling sebelumnya. Oleh karena itu dapat dipahami jika konseling
multikultural masih sering disalahartikan, dikritik, bahkan sebagaian masih
bersikap skeptis.
B. Kendala dalam Konseling Multikultural
Sebagai
kekuatan “keempat”, konseling multikultural relatif belum memiliki konsep,
teknik dan praktek yang mapan seperti gerakan konseling sebelumnya sehingga
sering dijumpai berbagai masalah dan kendala dalam pelaksanaannya. Dalam
pandangan Samuel (2012) betapa pentingnya untuk memisahkan perbedaan atas latar
belakang budaya dengan perbedaan kemiskinan ataupun status tertekan sehingga
menghindari salah persepsi dan reaksi masyarakat sebagai diskriminasi berpola
kultural. Hambatan dalam konseling multikultural di Amerika adalah sebagai
berikut:
1.
Banyaknya penduduk kelompok budaya
minoritas hidup dalam kemiskinan, ditambah lagi dengan permasalahan bahasa yang
berbeda.
2.
Tingkah laku nonverbal, terutama pada
populasi imigran, juga salah satu area yang bermasalah. Tingkah laku ini sulit
dimengerti dan diterima oleh konselor yang bukan berasal daribudaya yang sama
dengan klien tersebut.
3.
Rasisme, merupakan prasangka yang
ditunjukkan secara gamblang akibat mengenali atau mempersepsi perbedaan kelas, latar
belakang fisik maupun psikilogis suatu kelompok. Pada esensinya, rasisme
merupakan bentuk proyeksi yang biasanya ditampilkan sebagai rasa takut maupun
ketidakpedulian.
4.
Akulturasi, dimana sekelompok masyarakat
meninggalkan cara yang lama dan mengadopsi cara yang baru. Individu secara
bersamaan dipengaruhi oleh elemen dari dua budaya yang berbeda, yang pada
akhirnya mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan nilai-nilai yang saling
bertolak belakang, seperti mengalami stress psikologi, rasa bersalah, apatis,
depresi, kesembronoan, rasa marah, disorientasi, dan rasa tidak percaya diri.
Penjelasan
lebih lanjut juga dikemukakan oleh Sue (Jumarin, 2002: 43) bawasannya yang
menjadi sumber hambatan dan kegagalan dalam konseling lintas budaya antara
lain:
1.
Program pendidikan dan latihan konselor
Umumnya program pendidikan dan latihan
konselor mengacu pada budaya kelas menengah ras kulit putih, sehingga para
konselor kurang memiliki pemahaman, kesadaran, ketrampilan dan pengalaman konseling
yang memiliki budaya berbeda dengan budaya barat (Amerika-Eropa).
2.
Kesehatan mental
Program pendidikan dan latihan konselor
umumnya menghasilkan konselor yang cultur
encapsulation. Mereka berpandangan monokultural tentang kesehatan mental
dan pandangan stereotype yang negatif
terhadap budaya lain.
3.
Praktek Konseling
Pelaksanaan konseling profesioanal yang
selama ini dilakukan menggunakan pendekatan ilmiah, yang mengacu pada budaya
empiristik, individualistik, kebebasan dan sebagainya, dan kurang memperhatikan
aspek-aspek budaya lain dari subyek yang dilayani, sehingga terjadi
ketidakefektifan, saling berlawanan, dan ketidakcocokan dengan budaya klien.
C. Isu dalam Konseling Multikultural
Dalam
konseling multikultural terdapat isu-isu yang berkembang dan menjadi perhatian
serius para konselor, antara lain:
1.
Isu
Etic dan Emic
Isu
utama yang menjadi perhatian adalah para konselor yang bersudut pandang emik,
yaitu dominannya teori-teori yang berdasarkan nilai-nilai budaya Eropa/Amerika
(Samuel: 2012). Beberapa kepercayaan dominan dari Eropa/Amerika yakni
nilai-nilai individual, pemecahan masalah yang berorientasi pada tindakan,
etika kerja, metode ilmiah, dan penekanan pada jadwal waktu yang ketat.
Implementasi dari nilai-nilai ini dalam konseling menjadikan teori-teori yang
dibuat di di dalamnya tidak selalu berlaku untuk klien yang berbeda budaya
sehingga berpotensi terjadi bias dan kegagalan dalam membangun hubungan baik
antara klien dan konselor. Pandangan pendekatan emik menurut Jumarin (2002)
mengacu pada pandangan bahwa data penelitian multikultural harus dilihat dari
sudut pandang budaya subyek yang diteliti atau indigenoes (budaya asli) dan unik. Sedangkan pendekatan etic
melibatkan peneliti yang berasal dari budaya tertentu. Untuk menguji suatu
teori biasanya mengunakan metode dan instrument yang sudah ada, mengukur
sejumlah konstruk atau konsep psikologis.
Permasalahan
etic dan emic menjadi perbedaan mengenai cara mendiskripsikan suatu kebudayaan,
dipandang dari dalam maupun dari luar budaya klien. Isu ini sering menjadi
perdebatan karena pada akhirnya berkaitan dengan masalah hubungan konselor dan
klien.
2.
Isu
Sensitifitas Budaya
Dalam
pandangan Pedersen seperti yang dikutip Samuel (2012), ia percaya bahwa sangat
penting bagi konselor untuk sensitif terhadap tiga hal berikut:
a.
Pengetahuan akan cara pandang klien yang
berbeda budaya
b.
Kepekaan terhadap cara pandang pribadi
seseorang dan bagaimana seseorang merupakan produk dari pengkonsdisian budaya
c.
Keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan
klien yang berbeda budaya
3.
Isu
Pemahaman Sistem Budaya
Konselor perlu memahami cara kerja sistem budaya dan
pengaruhnya terhadap tingkah laku. Konselor yang memiliki pengetahuan dan
kesadaran tentang sistem budaya biasanya akan lebih ahli dalam membantu anggota
dari kelompok budaya tertentu, mampu berbagi cara pandang yang sama dengan
klien, ataupun membuat intervensi yang lebih baik dan pantas, tapi tetap
mempertahankan integritas personal.
4.
Isu
Keefektifan Layanan Konseling
Samuel (2012) yang mengutip pendapat Sue (1978) yang
mengetengahkan bagaimana membuat panduan untuk konseling lintas budaya yang
efektif, yang masih aplikatif hinggga sekarang, antara lain:
a.
Konselor mengenali nilai-nilai dan
kepercayaan yang mereka pegang sehubungan dengan tingkah laku manusia yang
diinginkan dan diterima. Mereka kemudian akan dapat mengintegrasikan pengertian
ini ke dalam tingkah laku dan perasaan yang tepat.
b.
Konselor menyadari kualitas dan tradisi
dari teori konseling yang umum dan bersifat kultural. Tidak ada metode
konseling yang bebas dari pengaruh budaya.
c.
Konselor mengerti lingkungan sosial
politik yang telah mempengaruhi kehidupan para anggota kelompok minoritas.
Manusia adalah produk dari keadaan dimana mereka hidup.
d.
Konselor mampu berbagi cara pandang dari
klien dan tidak menanyakan keabsahannya.
e.
Konselor benar-benar kreatif dalam
praktik konseling. Mereka dapat menggunakan beragam keahlian konseling dan
menerapkan teknik konseling tertentu pada gaya hidup dan pengalaman tertentu.
5.
Isu
Hubungan Konselor-Klien VS Teknik-Teknik Konseling
Para ahli
konseling masih cenderung memberikan pernyataan yang sifatnya umum, seperti
mempersiapkan diri mengadaptasi teknik-teknik konseling sesuai denga latar
budaya klien, menggunakan teknik-teknik acceptance
dan attending sesuai dengan latar
budaya klien, serta membuka terhadap kemungkinan untuk melakukan intervensi
langsung terhadap kehidupan klien. Dengan demikian konseling multikultural
lebih merupakan pengadaptasian teknik-teknik yang dipakai konselor sesuai
dengan latar budaya klien. Sebaliknya para ahli lain lebih menekankan hubungan
konselor-klien, lebih mementingkan apa yang dilakukan dan yang harus dihindari
konselor, dan bagaimana melakukan kegiatan konseling dalam budaya yang beragam,
serta mempertanyakan prinsip-prinsip mana yang tetap perlu dipertahankan dalam
melakukan konseling multikultural.
6.
Isu
Hubungan Bilateral antara Konselor-Klien
Hubungan konselor
dengan klien mengacu pada tingkat proses belajar dalam konseling yang
mempengaruhi konselor maupun klien. Apabila kesenjangan budaya dalam konseling
dapat terjembatani, maka pengalaman subjektif yang terkomunikasi dalam proses
konseling dapat menjadi “jendela” yang dapat digunakan oleh konselor maupun
klien untuk saling “melirik” kebudayaan yang dianut oleh masing-masing pihak
(Jumarin, 2002). Dengan demikian konselor atau klien dapat saling mempelajari
cultural frame of reference yang
dianut, sehingga proses berbagai subjective
word antara konselor dan klien. Hal ini tampaknya agak sulit dilakukan
karena dalam proses konseling sebenarnya yang menjadi pusat perhatian adalah
klien dengan segala persoalannya, tujuan-tujuan hidupnya, dan
harapan-harapannya.
7.
Isu
Dilema Autoplastic-Alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pada bagaimana
mengakomodasikan seseorang pada suatu latar dan struktur sosial yang bersifat given (jadi). Konsep alloplastic mengacu
pada pembentukan realita eksternal yang sesuai dengan kebutuhan individu.
Konsep-konsep ini berkaitan dengan tujuan proses konseling, karena
konsep-konsep tersebut berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh konselor dapat
membantu klien beradaptasi dengan realitas yang ada, dan seberapa jauh konselor
dapat mendorong terbentuknya realita yang sama dengan realita yang ada pada
diri konselor. Secara sederhana isu ini menyangkut apakah dalam konseling
multikultural konselor dapat dan perlu mengubah nilai-nilai budaya klien sesuai
dengan nilai konselor atau nilai-nilai budaya lain yang menurut pertimbangan
konselor perlu dilakukan. Tentu saja jika nilai budaya klien sudah bagus,
konselor harus mengikuti budaya klien, tetapi jika budaya klien bertentangan
dengan budaya masyarakat, atau nilai-nilai yang berlaku, maka cukup beralasan
jika konselor berusaha merubah nilai budaya klien kearah nilai budaya yang
lebih baru dan sesuai.
D. Pertimbangan Konseling dalam Kelompok
Kultural Tertentu
Selain panduan
umum untuk bekerja dengan klien yang berbeda budaya, konselor harus
mempertimbangkan kelompok budaya tertentu. Samuel (2012: 107) membagi bermacam kelompok
budaya-budaya internasional sebagai berikut:
1. Eropa-Amerika
Kaum
Eropa-Amerika mempunyai sejarah yang panjang dan dominan di Amerika Serikat.
Sebagai kelompok, kaum Eropa-Amerika telah mengalami pencampuran melebihi
kebanyakan kelompok budaya lainnya. Ini disebabkan antara lain oleh sejarah
pernikahan dan relasi antar kelompok yang bersama-sama mempengaruhi kelompok
sebagai satu kesatuan dan membuatnya menjadi lebih homogen. Kaum Eropa-Amerika
lebih cenderung mendukung filosofi yang menghargai linier, analitikal, empiris,
dan penyelesaian tugas, serta individualitas yang kuat harus dihargai dan
otonomi dari bagian-bagian serta kebebasan bertindak lebih signifikan dalam
kebersamaan kelompok.
Pendekatan
yang dapat dipakai, mayoritas teori konseling di Eropa-Amerika bisa
diaplikasikan dengan baik kepada kaum Eropa-Amerika. Anggota dari kelompok
inilah yang menghasilkan kebanyakan teori yang digunakan di masyarakat Eropa.
Kebanyakan teori konseling yang diterapkan sesuai dengan nilai dan gaya
hidupnya. Contohnya banyak orang Eropa-Amerika mengagungkan penggunaan metode
rasional dan logis dalam memahami diri mereka sendiri dan orang lain. Oleh
karena itu, pendekatan kognitif dan tingkah laku kognitif bisa bekerja dengan
baik untuk kelompok ini sebagai satu kesatuan. Namun, eksistensial,
psikoanalitik, Adlerian, fokus pada manusia, dan teori konseling afektif
lainnya mungkin tidaklah tepat bagi sebagian dalam populasi ini.
2. Afrika-Amerika
Konselor yang berbeda latar
belakang budaya akan dapat bekerja dengan efektif jika memahami sifat rasisme
dan fakta bahwa rasisme budaya, institusional, dan individual adalah masalah
utama bagi kaum Afrika-Amerika. Diskriminasi rasial serta kepercayaan diri
berhubungan terbalik. Konselor perlu menyadari bahwa kaun Afrika-Amerika sangat
beragam dan memiliki tingkah laku, pikiran, dan perasaan yang beragam, antara
lain:
a. Konseling
sering dianggap menyerahkan kebebasan mereka dengan pertama, memberitahukan
urusannya kepada asing, keharusan mendengarkan nasihat yang tidak pernah
diinginkan. Banyak yang tidak mau secara sukarela memberikan dirinya untuk
masuk dalam hubungan konseling.
b. Persepsi
bahwa relasi yang tidak setara dengan sejarah perbudakan menjadikan kesalahan
diagnosis di pusat kesehatan mental sehingga timbul rasa keterpaksaan dalam
konseling.
c. Penekanan
pada kolektivitas (suku) di kebanyakan tradisi yang saat ini berupa keluarga
dan semua yang tinggal, bekerja, dan beribadah secara berdekatan.
d. Spiritualis,
peran gereja dan lembaga keagamaan masih dianggap sebagai sumber keseimbangan
mental dan emosional.
Pendekatan konseling yang dapat dipakai dengan kaum
Afrika-Amerika, antara lain:
a. Mengidentifikasi
ekspektasi mereka dengan hati-hati karena ada sejumlah perbedaan. Klien datang
untuk konseling dengan alasan yang berbeda-beda sehingga penting diketahui
motif klien mencari layanan dan perubahan yang mereka harapkan.
b. Jika
klien dan konselor berlatar budaya dan etnis yang berbeda harus lebih
dicermati, menghindarkan diskriminasi dan rasisme terhadap klien.
c. Dibangun
relasi egalitarian yang menekankan pragmatisme. Banyak kaum Afrika-Amerika
datang ke konselor untuk mengurangi rasa sakit yang praktis. Langkahnya bisa
berupa pendidikan dan pelatihan kerja, perawatan, obat-obatan, atau ketrampilan
menjadi orang tua.
d. Intervensi
terapeutik akan bekerja dengan baik bila dihubungkan dengan layanan terkait,
menghindari penekanan yang berlebihan pada perasaan klien.
e. Konselor
harus berfokus pada kelebihan kaum Afrika-Amerika dan menangani individu dalam
konteks keluarga, tetangga, dan kota.
f. Sumber-sumber
spiritual bisa dilibatkan untuk membantu proses konseling, karena gereja dan
spiritualis adalah bagian integral dalam kehidupan kaun Afrika-Amerika.
3. Hispanik/Latinos
Istilah Hispanik dan Latinos
digunakan untuk mendeskripsikan masyarakat heterogen yang nenek moyangnya
berasal dari negara-negara Amerika yang berbahasa Spanyol. Latinos merupakan
keturunan Spanyol dan Indian di Amerika Serikat yang memiliki akar bangsa Latin
dengan ciri budaya sebagai berikut:
a.
Merupakan bikultural yang mempunyai
tingkat akulturasi berbeda-beda, budaya dan sejarah etnik mereka berpengaruh
besar terhadap filosofi, dinamika keluarga, dan kesehatan.
b.
Kelompok ini masih segan menggunakan
jasa konseling akibat tradisi budaya (harga diri), dan warisan budaya
(kebergantungan pada ikatan keluarga besar).
c.
Jarak ke lembaga layanan konseling cukup
jauh dengan minimnya sarana transportasi.
d.
Tidak mempunyai asuransi kesehatan dan
kurangnya tenaga konseling professional yang fasih berbahasa spanyol yang akrab
dengan kelompok ini.
e.
Menganggap masalah psikologis serupa
dengan masalah fisik, maka berharap agar konselor aktif, konkrit, dan fokus
pada hasil.
f.
Status sosial ekonomi yang rendah,
rasisme, dan diskriminasi adalah beberapa masalah universal yang mempengaruhi
saat berkonseling.
Pendekatan konseling yang dapat digunakan untuk kaum
Hispanik/Latinos, antara lain:
a.
Secara keseluruhan konselor harus
menghadapi berbagai topik dan bekerja dalam konsep dan kepercayaan kultural
dengan melibatkan keluarga.
b.
Bekerja selaras dengan spiritualis klien
maupun tradisi religius, khususnya karena mayoritas beragama katolik.
c.
Konselor diupayakan dapat berbahasa
Spanyol dan dapat mengekpresikan emosi mereka.
4. Asia/Kepulauan Pasifik Amerika
Kaum Asia dan penduduk kepulauan Pasifik meliputi Cina,
Jepang, Filipina, Indocina, Korea. Latar belakang budaya kelompok ini sangat
bervariasi, antara lain:
a.
Profil demografis memcakup lebih dari 40
kelompok budaya yang berbeda.
b.
Sejak dahulu mengalami diskriminasi
hebat di Amerika Serikat dan menjadi subjek berbagai mitos, kombinasi dari
berbagai faktor telah mengangkat stereotip kaum Asia-Amerika.
c.
Terjadinya bias dan salah pengertian
terhadap kaum Asia-Amerika sehingga mengalami penolakan hak kewarganegaraan,
larangan untuk memiliki tanah sendiri, ditahan di kamp, disakiti, diperlakukan
tidak adil, bahkan dibantai.
d.
Citra positif dari kelompok ini adalah
pekerja keras dan sukses serta tidak mudah menyerah terhadap gangguan emosional
maupun mental.
Pendekatan
yang dapat dipakai pada kaum Asia-Amerika antara lain sebagai berikut:
1.
Konselor harus melihat dan menghargai
kaum Asia-Amerika dalam konteks warisan budaya mereka.
2.
Faktor budaya dalam filosofinya bahwa
stress dan gangguan psikologis dijelaskan dalam kerangka religius. Jika
seseorang bermasalah, dianggap kerasukan roh jahat atau menderita karena
melanggar prinsip moral atau religious.
3.
Pada konseling karier, kaum Asia-Amerika
banyak menghindari usaha yang membutuhkan pemaksaan ekspresi diri.
4.
Cara berkomunikasi yang sopan tmbul dari
tradisi budaya dan harus dihadapi secara positif.
5.
Konselor perlu menghargai sejarah dan
keunikan karakteristik dari beberapa kelompok.
6.
Kepekaan diri konselor terus dijaga guna
memfasilitasi proses konseling, seperti membuka ketertutupan diri pada kaum
Cina Amerika dilakukan dengan penekanan konseling pendidikan maupun karier.
5.
Asli
Amerika
Penduduk asli Amerika sebagai suku Indian oleh bangsa
Eropa yang menetap pertama. Secara umum penduduk asli Amerika memiliki ciri-ciri
budaya dan permasalahan serius sebagai berikut:
a.
Memiliki perasaan yang kuat tentang
kehilangan tanah leluhur, hasrat untuk menentukan jalan hidup sendiri, konflik
dengan nilai-nilai budaya umum Amerika Serikat, dan kebingungan akan identitas
diri akibat stereotip masa lalu.
b.
Kemarahan tentang transgresi masa lalu
oleh orang-orang dari budaya yang berbeda adalah tema tema yang harus ditangani
dengan tepat.
c.
Memiliki tingkat bunuh diri tinggi,
pengangguran, alkoholisme, ekspektasi hidup yang rendah.
d.
Jumlah penduduk asli yang putus sekolah
tingkat SMA cukup tinggi, tak peduli afiliasi suku atau regional mereka.
Pendekatan
konseling yang dapat dipakai pada penduduk asli Amerika, antara lain sebagai
berikut:
a. Konselor
perlu mengetahui budaya dari penduduk asli Amerika dan menghindari penggunaan
teori yang tidak sesuai dengan budaya mereka.
b. Pada
kasus penduduk asli yang masih terikat dengan tradisi, praktik penyembuhan
berkisar pada model sirkular dan holistik untuk memahami masalah manusia.
c. Hal
yang perlu diperhatikan, konselor tidak banyak bicara, penerimaan, pengulangan
pernyataan, dan panduan umum.
d. Penggunaan
upacara keagamaan dan pembaharuan religious bagi laki-laki dewasa
direkomendasikan pada beberapa kasus.
e. Penggunaan
seni kreatif dianggap pendekatan yang terbaik karena ekspresi emosi, religious,
dan artistik adalah aspek yang tidak terpisahkan.
f. Penggunaan
bermacam pendekatan konseling secara sinergis, seperti terapi jejaring, terapi
berdasar tempat tinggal, struktur alami, dan aktivitas tradisional asli.
g. Dalam
relasi konseling, perasaan riil lebih penting dibanding cara kerja spesifik.
Kesediaan untuk belajar dan mengakui kesalahan diri dapat membantu pembentukan
ikatan antara konselor dan kaum asli.
6.
Arab-Amerika
Kelompok
Arab-Amerika tumbuh dengan cepat di Amerika, berasal dari negara di timur
tengah. Ciri-ciri adat budayanya yaitu:
a. Sebagian
beragama Kristen dan Muslim, namun budaya Arab dan Muslim sering tumpang tindih.
Jadi keduanya sering kali menganut tradisi dan nilai-nilai muslim.
b. Kaum
Arab-Amerika sangat bervariasi, perbedaan potensial meliputi kelas sosial,
pendidikan, dialek bahasa Arab yang berbeda-beda, nilai-nilai konservatif dari
negara asal, masa imigrasi, dan tingkat akulturasi.
c. Budaya
Arab cenderung berkonteks tinggi, menekankan stabilitas sosial dan kolektivitas
disbanding dengan individualitas.
d. Keluarga
adalah elemen signifikan di kebanyakan subkultur kaum Arab-Amerika, dengan
kehidupan individu didominasi hubungan keluarga.
e. Pendidikan
juga dihargai di rumah tangga kaum Arab-Amerika.
Pendekatan konseling yang dapat dipakai pada kaum
Arab-Amerika, antara lain:
a. Memperhatikan
peran gender dalam keluarga.
b. Penekanan
pentingnya kehormatan dan rasa malu karena untuk orang-orang dari budaya Arab
mencari bantuan dari luar.
c. Menyadari
konteks budaya mereka.
d. Memperhatikan
isu kepemimpinan dan pentingnya peran figur otoritas dalam hidup mereka.
e. Bersikap
atentif terhadap peran yang dimainkan keluarga besar dalam pengambilan
keputusan.
f. Peka
terhadap peran budaya yang cukup besar sebagai ko-partisipan yang riil dan
aktif dalam perawatan.
g. Menyadari
fakta bahwa pendekatan berdasarkan kekuatan diinginkan dan bekerja dengan lebih
baik dalam perawatan.
h. Bersikap
aktif sebagai konselor dan menyeimbangkan peran, sehingga tidak dilihat sebagai
penyelamat ataupun ancaman.
i.
Konselor dapat membantu dengan menolong
mendapatkan akses ke suatu kelompok, dimana mereka bisa mendapat dukungan dan
menjadi anggota dari komunitas yang lebih besar.
7.
Konseling
Internasional
Untuk
membantu klien secara internasional, perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Mengembangkan
teknik manajemen stress
b. Mempelajari
keahlian komunikasi asertif
c. Menyadari
benar-benar sistem belajar
d. Mengembangkan
keahlian merencanakan hidup dan karier
e. Mendidik
diri mereka sendiri tentang budaya klien, termasuk pentingnya keluarga dan
kehidupan komunitas
f. Integrasi
antara pendekatan barat dan pendekatan konseling setempat
g. Melibatkan
keluarga, dan teman dalam sesi konseling bersama dengan praktik religius.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
uraian pembahasan makalah di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
-
Konseling lintas budaya atau
multikultural adalah proses konseling yang melibatkan antara konselor dan klien
yang berbeda budayanya, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya,
mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, memfasilitasi perhatian
pada perbedaan individual.
-
Sebagai kekuatan “keempat”, konseling
multikultural relatif belum memiliki konsep, teknik dan praktek yang mapan
seperti gerakan konseling sebelumnya sehingga sering dijumpai berbagai masalah
dan kendala dalam pelaksanaannya.
-
Isu-isu yang berkembang dalam konseling
multikultural menjadikan kendala dalam proses konseling, yang utama menjadi
perhatian adalah para konselor yang bersudut pandang emik, yaitu dominannya
teori-teori yang berdasarkan nilai-nilai budaya Eropa/Amerika.
-
Selain panduan umum untuk bekerja dengan
klien yang berbeda budaya, konselor harus mempertimbangkan kelompok budaya
tertentu di suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Glading,
Samuael T. (2012). Konseling Profesi yang
Menyeluruh. Jakarta: Indeks.
Hansen,
L. S. (1997). Integrative Life Planning; Critical Tasks for Career
Development and Changing Life Patterns. San Francisco: Jossey-Bass
Publishers.
Jumarin,
M. (2002). Dasar-Dsar Konseling Lintas
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prayitno
dan Erman Amti. (2008). Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Supriatna, Mamat. (2009). “Bimbingan dan Konseling
Lintas Budaya”. Makalah pada PPB FIP UPI
Bandung.
Wahyu, Ramdani. (2007). Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
1 komentar:
makasih
Posting Komentar